Quarter Life Crisis

Ga kerasa, kita udah mau memasuki akhir bulan Februari padahal rasanya baru kemarin ngerayain tahun baru 2022. Bulan Februari ini adalah bulan kelahiran gue dan tahun ini usia gue memasuki seperempat abad. Perasaan, baru kemarin masih main lari-larian tanpa punya beban pikiran yang berat ehh tau-tau udah banyak hal yang dijalani sampai dengan titik ini.

Kalo berbicara mengenai umur seperempat abad, pasti kalangan milenial mengaitkannya dengan quarter life crisis (padahal sebenarnya quarter life crisis di mulai dari umur 18 tahun hahaha). Kata orang, usia 20-an itu adalah usia di mana kita selalu merasa kurang dan ga puas dengan apa yang kita punya, apa yang kita capai, selalu saja merasa I am not good enough. Sebagai anak yang punya kelebihan, yaitu overthinking, gue secara pribadi pun mengalami hal yang sama. Dari tahun kemarin sampai dengan saat ini, banyak hal yang membuat gue merasa selalu kurang, merasa gagal dan marah dengan diri sendiri dengan berbagai hal yang gue rasa ga sesuai dengan ekspektasi gue.
 
Apalagi dengan social media yang aktif kita gunakan setiap hari, kadang mendorong kita lebih merasa  kurang karena kita melihat pencapaian teman-teman seusia kita yang udah berkembang jauh dari kita. Terkadang diri ini merasa "kok dia bisa begitu ya? sedangkan gue masih stuck di tahap ini". Banyak timbul pertanyaan dan penyesalan yang membuat akhirnya kita marah dengan diri sendiri dan bertanya-tanya mengenai alasan dari setiap "kenapa" yang muncul di dalam otak kita. Udah coba berbagai usaha untuk mencapai apa yang kita mau tapi kok belum ada hasilnya.
 
Perasaan cemas dan takut pasti selalu ada karena kekhawatiran kita tentang masa depan. Ekspektasi yang kadang tidak berjalan sesuai dengan keinginan juga menambah beban pikiran dan rasa bersalah akan diri sendiri. Tidur menjadi terganggu, diajak ngomong terkadang jadi kebingungan sendiri karena pikirannya melalang buana entah kemana. Teman yang semakin berkurang ditambah situasi pandemi yang belum selesai juga menjadi penghalang akses untuk bisa sekedar bertemu dan bercerita dengan orang-orang yang kita percayai akan mengerti tentang apa yang kita rasakan. Memang kita diuntungkan dengan kecanggihan teknologi yang membuat kita bisa berkomunikasi dengan orang secara jarak jauh tapi ketika bisa face to face itu jauh lebih menyenangkan dan bisa menguatkan dari sekedar komunikasi dengan layar handphone.
 
Belajar dari segala kerandoman hal-hal ini berarti kita belajar mengenai sebuah proses. Kalo ngomongin proses pasti isinya semua hal yang tidak enak, menyusahkan, membuat capek dan kadang membuat kita merasa I want to give up or I cannot handle it anymore. Keringat, air mata, stress pasti juga mengiringi setiap perjalanan yang dilalui. Proses berbicara mengenai bagaimana kita dibentuk menjadi manusia yang jauh lebih kuat, lebih pintar dan lebih bijaksana dalam menghadapi masa depan yang kita ga tau arahnya bakal gimana. Proses juga merupakan cara untuk menyadarkan kita bahwa terkadang kita suka underestimate diri kita sendiri padahal kita lebih kuat dari apa yang kita pikirkan, lebih tahan banting dengan rintangan yang dihadapi dan bisa menyelesaikan masalah dengan baik tak kala persoalan datang bertubu-tubi.
 
Dari proses ini gue juga menyadari bahwa terkadang kita lupa bahwa dari semua yang kita rencakan, dari semua goals yang kita set up, ada campur tangan Sang Empunya Semesta yang menentukan apakah itu yang paling baik buat kita atau tidak. Jujurly, gue merasa di tahap perjalanan ini, gue selalu mengandalkan kemampuan gue sendiri sampai akhirnya merasa "kok semuanya jadi gini", "kok ga ada progress", kok begini kok begitu. Gue lupa melibatkan Pribadi Yang Super Powerful dalam kehidupan kita sebagai manusia. Mungkin sebagian orang bilang, "halah terlalu agamis loh." tapi gue pernah berada pada titik kebingungan harus bicara sama siapa, cerita sama siapa karena gue yakin ga semua orang akan menerima dan memahami apa yang gue rasakan. Alhasil, semuanya gue lampiaskan kepada Tuhan karena gue merasa cuma Dia yang mengerti, membantu dan tidak men-judge apa yang kita hadapi saat ini. 
 
Minggu lalu, gue ikut ibadah online dan Pendeta yang menyampaikan khotbah bilang, "kalo kamu ga mau menghadapi challenges and difficulties, hanya ada satu cara dan cara itu adalah jangan hidup, karena kalo bicara tentang hidup pasti penuh dengan challenges and difficulties.". Quarter life crisis memang berat, krisis identitas yang membuat kita merasa putus asa dan menyerah tapi dari setiap proses yang dijalani, pasti akan ada secercah harapan yang membuat kita sadar bahwa "you did it great" tanpa harus ada pengakuan dari orang lain. Tetap semangat menjalaninya, jangan lelah untuk selalu bangkit setiap kali mau menyerah karena yang bisa kita andalkan cuma 2, Tuhan dan diri kita sendiri. Good luck buat kalian yang juga sedang berjuang, peluk erat satu per satu.




Comments

Popular Posts